Pages

Bijak Memilih Pemimpin: Dimulai dari Hal Kecil

            Belakangan ini geliat politik di Indonesia terlihat makin sibuk. Hal ini tentu saja dilakukan dalam rangka menyambut pesta demokrasi. Tidak heran berbagai perhelatan dilaksanakan dalam rangka menyambut kegiatan empat tahun sekali ini, salah satu contohnya adalah berbagai penyuluhan perihal masalah pemilihan umum.
            Salah satu isu yang dirasakan oleh beberapa kaum muda, usia remaja, ketika mendekati pemilu adalah kesulitan menentukan akan memilih siapa. Kebingungan dalam memilih ini dapat dipicu oleh beberapa hal. Salah satunya adalah hilangnya kepercayaan kepada partai, bahkan terhadap entitas-entitas politik lainnya. Kehilangan kepercayaan ini dapat lahir dari banyaknya kasus yang menyangkut identitas partai yang mulai terkuak di media informasi yang mudah diakses. Selain itu, problema yang menyebabkan kebingungan ini adalah kurangnya informasi mengenai calon-calon wakil legislatif yang mudah diakses oleh pemuda. Lalu dari kebingungan-kebingungan banyak remaja yang sudah melampaui usia 17 tahun yang akhirnya memilih untuk golput. Padahal jika kita tidak menggunakan hak suara kita, suara bisa jadi yang akan berjaya ketika pemilihan nanti adalah orang-orang yang memiliki kepentingan. Kalau bukan kita yang memilih pemimpin kita, pemimpin kita akan dipilih berdasarkan kepentingan kelompok yang paling besar massa! Jelas hal ini sangat berbahaya.
            Kembali pada masalah keterbatasan informasi, keterbatasan informasi akhirnya membuat seorang calon hanya dipilih oleh remaja berdasarkan produk kampanyenya saja, contohnya spanduk-spanduk caleg yang sedang marak bertebaran di jalanan. Seorang calon pemimpin dapat dinilai dari bagaimana cara media kampanyenya dikelola. Sebelumnya, memang benar menilai seseorang hanya dari penampilannya (atau dalam hal ini, spanduknya) itu terdengar tidak adil, bahkan terkesan mengagungkan stereotip. Tetapi  secara sadar  maupun tidak, media kampanye yang digunakan calon pemimpin dapat menunjukkan keseriusan dan determinasi seorang calon pemimpin.
Semuanya dimulai dari hal-hal kecil saja. Salah satunya, jika ada calon yang memasang spanduk di tempat yang seharusnya—seperti di lingkungan pendidikan, di tempat fasilitas umum, dan sebagainya—apalagi sampai melanggar aturan kampanye, dapat dilihat sendiri ‘kan bagaimana calon pemimpin ini mengabaikan aturan yang berlaku?  Seorang calon pemimpin yang baik juga harus tahu bagaimana menggunakan media kampanyenya tanpa menyakiti pihak manapun (sedikit miris memikirkan pohon-pohon yang mulai bertindik paku, toh tidak ada pemimpin yang terpikirkan mencabut paku ini yang dua, tiga tahun lagi akan berkarat menjadi penyakit batang tanaman). Ini baru menjadi calon, siapa yang tahu apa yang terjadi jika sudah mendapat amanah?
Selain itu, pemimpin yang baik tidak sekedar melontarkan slogan pada media kampanyenya. Walaupun inti dari kegiatan kampanye adalah untuk mempromosikan diri, tetapi tetap usaha untuk mengedukasi rakyat harus dilaksanakan. Jangan membodohi rakyat dengan propaganda kampanye yang menyesatkan. Mohon maaf, tetapi saya beberapa kali menemukan slogan kampanye yang sedikit membuat saya mengernyitkan dahi. Satu kali saya melihat tagline kampanye berbunyi “daripada golput mending ikut”. Memang inti yang ingin disampaikan baik, mendorong dan mengajak warga negara yang memiliki hak pilih untuk menyumbangkan suara pada pemilihan mendatang, tetapi cara penyampaiannya rancu, dapat menimbulkan interpretasi keliru. Golput dengan segala alasan yang saya kemukakan di atas adalah tindakan tidak baik, tetapi sekedar ikut-ikutan juga sama tidak baiknya! Sayang sekali jika slogan baik ini malah menimbulkan misinterpretasi dan kerancuan makna.
Itu baru satu contoh. Masih juga saya temui slogan-slogan kampanye yang tidak wajar,bahkan terkadang malah sama sekali tidak memiliki hubungan dengan kegiatan kampanye itu sendiri. Satu kali saya menemukan media kampanye yang memiliki tagline “senggol, bacok” (dan dibubuhi kata misuh khas kota pahlawan, tetapi itu beda cerita). Barangkali tujuan utama pembubuhan tagline berikut dalam media kampanye merupakan usaha untuk memperlihatkan betapa calon ini adalah calon yang menyenangkan, ramah, dan mudah bergaul. Tetapi jika dipikirkan dua kali kesan yang didapat malah calon tersebut menjadi kehilangan wibawa. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan terutama dari pihak calon tersebut, bisa-bisa pencitraan yang negatif dapat muncul.
Memang hal-hal yang saya kemukakan di atas bersifat trivial. Tetapi saya percaya bahwa kita butuh pemimpin yang memperhatikan detil. Pemimpin yang tidak mudah menggampangkan masalah rakyat. Pemimpin yang tidak berbuat melawan aturan, sekecil apapun. Pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah rakyat hingga ke akar-akarnya. Pemimpin yang mengetahui keinginan rakyatnya hingga ke bagian yang paling mikro. Pemimpin yang berusaha tampak baik apa adanya, menjadi percontohan. Dan terkadang untuk mengerti sesuatu yang besar, seperti misalnya meramalkan masa depan Indonesia, yang kita butuhkan hanya melihat jati diri calon pemimpin kita hingga bagian yang terkesan paling sepele.
Lewat tulisan ini pula saya ingin menyampaikan kepada setiap calon-calon yang sedang bergerilya berkampanye untuk lebih memperhatikan pengelolaan media kampanyenya. Lewat kampanye yang serius dan meyakinkan, rakyat dapat lebih percaya dan lebih yakin terhadap pilihannya. Media kampanye dimanfaatkan betul sebagai sarana memperkenalkan diri bersama visi misi ke depan. Media kampanye yang dikelola dengan sembarangan akan meninggalan pencitraan buruk terhadap calon itu sendiri. Dan tentu saja rakyat tidak akan memilih calon pemimpin yang asal-asalan.

Terakhir, kepada semua remaja dan masyarakat muda pemegang hak pilih dalam pesta demokrasi tahun ini; titip Indonesia untuk lima tahun ke depan! Gunakan hak pilih dengan bijak, nasib Indonesia ada di tangan kalian. Sukseskan pemilu 2014!

Dibuat untuk tugas membuat esai/puisi/cerpen untuk buku Golden Generation 2 (buku yang diterbitkan sekolah berisi kumpulan karya siswa). Karena karyaku tidak sampai diterbitkan, kupikir sayang kalau tidak dibagikan sekalian saja. ;) Oh, omong-omong, cerita ini dibuat ketika masa-masa kampanye pemilu legislatif 2014.

0 komentar:

Posting Komentar