Pages

Stereotip!

"Si anu bapaknya kan ahli ini, pantas bisa begini."

"Si itu anaknya dosen itu, tidak heran hebat begitu."

"Ya iyalah si dia pintar, dari kecil sudah disuapi itu sama orangtuanya yang pintar itu."

Acap kali sudah saya dengar pernyataan seperti ini. Tidak ada yang salah kok, biasanya garis keturunan punya andil dalam pewarisan disiplin ilmu. Dan perihal seperti itu sudah diturunkan sejak anak masih begitu hijau. Ya, tidak heran kalau anak-anak semacam itu biasanya tergolong istimewa. Saya setuju.

Tapi saya tidak setuju apabila anak seperti ini disandingkan dengan anak yang mendapatkan kecerdasannya karena tekun.

Begini, ada hal yang perlu dimengerti sebelum kita berbicara begini. Pertama, tidak semua orangtua menerapkan tradisi turunan disiplin ilmu tertentu. Kedua, tidak semua anak memiliki hasrat pada bidang yang sama dengan orang tua mereka (untuk yang ini biasanya baru diketahui setelah anak mengalami masa pendewasaan; sesi galau, sesi pencarian jati diri, sesi rebel).

Ada anak yang tumbuh mencari passion-nya sendiri. Tumbuh dan belajar mengikuti hasratnya sendiri. Dan kegiatan sesuka hati ini jika ditindak lanjuti dengan penekunan dapat menjadi ciri khas anak, dalam artian masuk bagian dari bidang yang dikuasai seseorang.

Sedikit tidak adil sebetulnya, karena anak tekun ini (yang sepertinya, dengan cukup ironis, kukatakan memang harus hidup dengan sedikit lebih banyak usaha) terbilang terlambat jauh daripada anak-anak dari golongan pewaris disiplin ilmu tadi.

Sebetulnya tidak adil juga.

Lebih tidak adil lagi memarginalkan anak-anak berbakat karena tekun dari anak-anak yang berbakat karena warisan.

Makanya saya kata mestinya kita menilai hebat orang itu sambil menutup mata, telinga, supaya tiada boleh ada intervensi komentar, stereotip,  dan kesalahan premis.

Bukankah harusnya kita menilai orang bukan dari apapun melainkan dari kapasitas orang itu sendiri?

0 komentar:

Posting Komentar