Hari ini aku pulang pagi karena jadwal UTS hari ini selesai pagi hari. Menaiki angkot warna coklat susu, kemudian menaiki angkot warna kuning dan hijau cerah. Di angkot yang terakhir ini aku bertemu seorang nenek yang aku tidak tahu namanya. Nenek ini membawa dua bungkusan kain, menggunakan semacam batik encim lusuh, dan tanpa alas kaki. Sama sepertiku, beliau naik angkot dari DTC (tetapi aku naik terlebih dahulu).
Kemudian sebelum angkotnya berjalan nenek ini sempat bertanya di mana aku bersekolah, di mana letak sekolahku. Ketika aku mengatakan Kusuma Bangsa, nenek ini terkejut, katanya jauh sekali. Dan aku ditanyai di mana rumahku, kemudian aku menjawab satu daerah di ujung Surabaya Selatan yang berdekatan dengan Sidoarjo, nenek itu bertambahlah terkejut.
Nasib murid rumah jauh, kadang-kadang aku sendiri tidak sadar betapa jauhnya rumahku dari sekolah.
Kemudian nenek itu berkata dalam bahasa Jawa "Mudah-mudahan kamu jadi sukses."
:")
Terharu. Ada nenek-nenek yang mendoakanku.
Barangkali nenek itu bersimpati karena rumahku jauh, ehee. Tapi kemudian nenek itu bercerita lagi mengenai bagaimana tidak mungkin mendapatkan pekerjaan yang enak jika tidak lulus SMA, kemudian kalau tidak salah bercerita mengenai putus sekolah sewaktu SMP, tentang bagaimana pekerjaan cocok dan tidak. Tetapi ada satu hal yang diucapkan nenek itu yang sampai sekarang kujadikan kurenungan kalau kuingat-ingat: "Zaman sekarang sekolah tidak bisa dijadikan gantungan. Sekarang yang jadi penentu itu orang-orang berduit."
....
Tidak bisa disalahkan juga pernyataannya. Tetapi tidak sepenuhnya benar juga; maksudnya, ada semacam dorongan dalam diri kalau tidak semata-mata uang yang mendorong kesuksesan. Mungkin karena aku lebih kepada sukses untuk uang bukan uang untuk sukses (err, mengerti maksudnya 'kan?). Yah, kita lihat saja.
Tetapi tetap, ada satu orang yang mendoakanku tiba-tiba pagi ini. Aku bersyukur. :")
0 komentar:
Posting Komentar