Ha ha ha .... Teman, aku dan kau terbahak-bahak, membahana hingga ke ujung
Ha ha ha .... Teman, bagaimana, sebetulnya aku berharap tertawa kita terdengar sana-sini, tapi dinding-dindingnya tebal sana, tebal sini.
Ha ha ha .... Teman, kita ini terpingkal-pingkal, tapi mana ada yang lucu? Lucu; lucu itu hidup kita!
Ha ha ha .... Teman, kita tertawa sampai bercucuran peluh keringat, berderai air mata.
Ha ha ha .... Teman, biar saja, toh mau mengulum sedih, mau berumbar bahagia, sama saja per-inci tubuh kita berguncang-guncang.
Ha ha ha .... Teman, izinkan kita bertukar kebodohan, sumber pingkal-pingkal kita sore-sore.
Ha ha ha .... Aku tertawa-tawa. Tidak usah malu, toh kita ini sudah memalukan.
Ha ha ha .... Bercerita engkau, tentang urusan menang dan kalah. Katanya kalah menang itu biasa.
Ha ha ha .... Lanjut engkau, padahal ucapan selamat ini, pujian itu, bersama ucapan terima kasih, dan hiburan ini, ungkapan itu, dan ucapan "oh! Tidak apa-apa", itu berbeda.
Ha ha ha .... Dengar tidak kata mereka; "Kalah-menang sama saja." Tentu saja berbeda!
Ha ha ha .... Teman, aku dan kau terbahak-bahak.
Ha ha ha .... Teman, kau bercerita juga tentang menyalahkan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain.
Ha ha ha .... Kau dan aku terpingkal-pingkal; memangnya yang seperti itu apa gunanya? Siapa suruh menyalahkan diri sendiri, siapa suruh merendahkan diri sendiri? Memangnya fitrah manusia mau menyalahkan pribadinya sendiri.
Ha ha ha .... Kita meringis kegelian. Diri sendiri tidak butuh disalahkan! Diri sendiri cuma perlu berkaca dulu.
Ha ha ha .... Lagi kita bercengkrama, sambil bermunafik boleh saja.
Ha ha ha .... Kau bilang kita mesti selalu optimis.
Ha ha ha .... Lalu aku berkilah, terus saja kau berkata begitu, seolah kau selalu optimis saja!
Ha ha ha .... Aku dan kau tertawa lagi. Kilahmu, kau cuma pasrah, tidak pesimis. Tentu itu kau cuma bicara seadanya saja.
Ha ha ha .... Teman, kau dan aku bicara tentang budaya. Warisan kita ada yang berjalan salah. Pendahulu kita caranya salah, tapi dipertahankan saja. Buat apa sih mempertahankan budaya yang esensi saja pendahulu kita tidak dapat?
Ha ha ha .... Teman, kita terbahak lagi. Terus buat apa ditiru-tiru? Mengapa tidak kita hidup dengan cara kita? Yang penting hidup kita tujuannya sampai, bukan?
Ha ha ha .... Lalu aku bercerita kebodohan lagi,
Ha ha ha .... Ingat tidak, kita soal orientasi yang yang tertentukan otoritas, kita membatin ini-itu saja.
Ha ha ha .... Sedang yang punya ekspektasi buat kita, cuma berharap dan menyuruh ini-itu saja, tapi mereka bisa apa?
Ha ha ha .... Kubilang kita hidup pakai cara kita saja. Yang penting misi tercapai, beres sudah masalah.
Ha ha ha .... Teman, ada alias ini-itu dan metafora ini-itu kala kita bercengkrama. Sadar atau tidak orang lain kala metafora itu membuka matanya baru jelas kita bicara apa, kita tidak perlu siapa-siapa tahu tentang kita bicara apa.
Ha ha ha .... Tertawa lagi, tertawa lagi. Ingat juga kalau makin generasi makin berat bebannya. Berharap ini itu, itu ini, mana lagi permintaan yang mesti kita kabulkan?
Ha ha ha .... Di akhir hari kita cuma bisa tertawa-tawa saja. Biar peluh tidak kering-kering, biar air mata dibolehkan menangis, tapi kita tergelak terus, terus saja seperti tak ingat dosa.
Ha ha ha ....
Ha ha ha ....
Ha ha ha ....
Tidak apa. Toh alias dan metafora dan dinding tebal masih enggan membuka maskernya. Mau ironinya bagaimana, siapa yang hendak mengerti maksudnya, selain kita?
Ha ha ha .... Teman, bagaimana, sebetulnya aku berharap tertawa kita terdengar sana-sini, tapi dinding-dindingnya tebal sana, tebal sini.
Ha ha ha .... Teman, kita ini terpingkal-pingkal, tapi mana ada yang lucu? Lucu; lucu itu hidup kita!
Ha ha ha .... Teman, kita tertawa sampai bercucuran peluh keringat, berderai air mata.
Ha ha ha .... Teman, biar saja, toh mau mengulum sedih, mau berumbar bahagia, sama saja per-inci tubuh kita berguncang-guncang.
Ha ha ha .... Teman, izinkan kita bertukar kebodohan, sumber pingkal-pingkal kita sore-sore.
Ha ha ha .... Aku tertawa-tawa. Tidak usah malu, toh kita ini sudah memalukan.
Ha ha ha .... Bercerita engkau, tentang urusan menang dan kalah. Katanya kalah menang itu biasa.
Ha ha ha .... Lanjut engkau, padahal ucapan selamat ini, pujian itu, bersama ucapan terima kasih, dan hiburan ini, ungkapan itu, dan ucapan "oh! Tidak apa-apa", itu berbeda.
Ha ha ha .... Dengar tidak kata mereka; "Kalah-menang sama saja." Tentu saja berbeda!
Ha ha ha .... Teman, aku dan kau terbahak-bahak.
Ha ha ha .... Teman, kau bercerita juga tentang menyalahkan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain.
Ha ha ha .... Kau dan aku terpingkal-pingkal; memangnya yang seperti itu apa gunanya? Siapa suruh menyalahkan diri sendiri, siapa suruh merendahkan diri sendiri? Memangnya fitrah manusia mau menyalahkan pribadinya sendiri.
Ha ha ha .... Kita meringis kegelian. Diri sendiri tidak butuh disalahkan! Diri sendiri cuma perlu berkaca dulu.
Ha ha ha .... Lagi kita bercengkrama, sambil bermunafik boleh saja.
Ha ha ha .... Kau bilang kita mesti selalu optimis.
Ha ha ha .... Lalu aku berkilah, terus saja kau berkata begitu, seolah kau selalu optimis saja!
Ha ha ha .... Aku dan kau tertawa lagi. Kilahmu, kau cuma pasrah, tidak pesimis. Tentu itu kau cuma bicara seadanya saja.
Ha ha ha .... Teman, kau dan aku bicara tentang budaya. Warisan kita ada yang berjalan salah. Pendahulu kita caranya salah, tapi dipertahankan saja. Buat apa sih mempertahankan budaya yang esensi saja pendahulu kita tidak dapat?
Ha ha ha .... Teman, kita terbahak lagi. Terus buat apa ditiru-tiru? Mengapa tidak kita hidup dengan cara kita? Yang penting hidup kita tujuannya sampai, bukan?
Ha ha ha .... Lalu aku bercerita kebodohan lagi,
Ha ha ha .... Ingat tidak, kita soal orientasi yang yang tertentukan otoritas, kita membatin ini-itu saja.
Ha ha ha .... Sedang yang punya ekspektasi buat kita, cuma berharap dan menyuruh ini-itu saja, tapi mereka bisa apa?
Ha ha ha .... Kubilang kita hidup pakai cara kita saja. Yang penting misi tercapai, beres sudah masalah.
Ha ha ha .... Teman, ada alias ini-itu dan metafora ini-itu kala kita bercengkrama. Sadar atau tidak orang lain kala metafora itu membuka matanya baru jelas kita bicara apa, kita tidak perlu siapa-siapa tahu tentang kita bicara apa.
Ha ha ha .... Tertawa lagi, tertawa lagi. Ingat juga kalau makin generasi makin berat bebannya. Berharap ini itu, itu ini, mana lagi permintaan yang mesti kita kabulkan?
Ha ha ha .... Di akhir hari kita cuma bisa tertawa-tawa saja. Biar peluh tidak kering-kering, biar air mata dibolehkan menangis, tapi kita tergelak terus, terus saja seperti tak ingat dosa.
Ha ha ha ....
Ha ha ha ....
Ha ha ha ....
Tidak apa. Toh alias dan metafora dan dinding tebal masih enggan membuka maskernya. Mau ironinya bagaimana, siapa yang hendak mengerti maksudnya, selain kita?
0 komentar:
Posting Komentar